Jakarta
- Vonis 18 tahun penjara terhadap mantan ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Antasari Azhar, terkait kasus pembunuhan berencana
Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen pada 15 Maret
2009 silam, merupakan bukti kasus tersebut sudah tutup. Kasus yang
melibatkan 10 orang lainnya, telah diputuskan oleh majelis hakim dan
sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Bahkan,
semua hak Antasari yang diatur dalam UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digunakan untuk menolak
putusan atau melakukan koreksi terhadap proses penyidikan hingga
persidangan seperti prapradilan, banding,kasasi,serta peninjauan
kembali (PK) tidak berhasil merubah apalagi membatalkan putusan.
Sejatinya,
tidak ada lagi ruang dan tempat untuk meninjau atau koreksi terhadap
putusan tersebut. Meskipun permohonan Grasi (perngampunan) Antasari yang
diberikan Presiden Jokowi, menghapuskan hukuman tanpa melalui proses
persidangan, tidak berarti menghilangkan kesalahan atau menjadi bentuk
rehabilitasi seorang terpidana. Karena Grasi adalah permohonan
pengampunan yang diajukan seseorang yang telah mengakui kesalahannya.
Proses pemberian Grasi yang menjadi hak prerogatif Presiden atau kepala
Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU No 5
tahun 2010.
Grasi
atau pengampunan bukan produk hukum yang terkait dengan persoalan
teknis yuridis peradilan.Sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai
putusan hakim atau dasar untuk melakukan koreksi terhadap proses
penegakan hukum maupun putusan yang sudah dijatuhkan pengadilan.
Anehnya,
pasca mendapat Grasi disusul pertemuan Antasari dengan Presiden
Jokowi,kasus ini menjadi amunisi politik untuk mematikan langkah lawan
politik. Langkah itu diawali dengan pernyataan Antasari pada Selasa 14
Februari 2017 atau sehari jelang Pilkada 15 Februari 2017 lalu. Antasari
meminta agar SBY menjelaskan yang sebenarnya ke publik tentang apa yang
dilakukan terhadapnya. Pernyataan Antasari sontak memanaskan suhu
politik hingga ke ubun-ubun. Tetapi biarlah hanya Antasari dan mungkin
ada pihak lain yang mengetahui maksud dan tujuan langkah bidak catur
politik yang dimainkan oleh Antasari.
Pasca
Grasi, Antasari juga melemparkan bola panas dengan pengakuan dirinya
adalah korban rekayasa yang dilakukan penguasa. Menurut Antasari,ada
sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan terhadap dirinya. Sehingga
dia mendatangi Bareskrim Polri untuk melaporkan terkait dugaan rekayasa
pesan singkat (short message service/SMS) bernada ancaman terhadap
korban yang dikirimkan lewat ponsel Antasari. Padahal menurut Antasari,
dirinya tidak pernah mengirimkan SMS tersebut.
Dalam
laporannya, Antasari mengadukan pelaku atas dugaan tindak pidana
persangkaan palsu atau rekayasa sehingga dirinya dipenjara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 318 KUHP. Kemudian dugaan penghilangan barang bukti
yang dibutuhkan dalam persidangan, yang disangkakan melanggar Pasal 417
KUHP. Barang bukti itu berupa pakaian mendiang Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Sayangnya, dalam laporan nomor
LP/167/II/2017/Bareskrim tertanggal 14 Februari 2017, tidak disebutkan
nama atau identitas terlapor.
Tanpa
disadari, laporan yang disampaikan Antasari, telah membangun persepsi
publik bahwa Antasari adalah korban rekayasa penyidik. Padahal,
terungkapnya keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan berencana itu
adalah hasil dari rangkaian penyelidikan dan penyidikan panjang yang
dilakukan penyidik.
Publik
tidak mendapat informasi bahwa keterlibatan Antasari didukung dengan
bukti kuat yang didapat penyidik. Sebaiknya, publik juga diberikan
penjelasan terkait rekaman pembicaraan Antasari dengan Sigid Haryo
Wibisono yang juga divonis bersalah, di rumahnya Jl Pati Unus ,Kebayoran
Baru,Jakarta Selatan, sebelum terjadinya pembunuhan.
Tidak
hanya itu, seharusnya Antasari juga menjelaskan apa saja keluhan yang
disampaikannya kepada Sigid tentang Nasarudin Zulkarnaen. Antasari juga
hendaknya membeberkan pengakuan tentang teror yang dilakukan oleh
Nasarudin. Tetapi ,mengapa Antasari mengaku tidak mengenal siapa yang
melakukan teror terhadapnya, saat melaporkannya kepada Kapolri saat itu
Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Padahal, pelaku teror itu adalah
Nasarudin Zulkarnaen yang dikenal baik oleh Antasari. Semestinya
Antasari juga menjelaskan sudah berapa kali memberikan sejumlah uang
kepada korban.
Kemudian
jangan lupa, Antasari perlu mengungkapkan apa niat,tujuan dan maksud
dibalik janji Antasari membantu Kombes Wiliardi untuk menduduki
jabatan sebagai Direskrimum Polda Metro Jaya. Maupun asal usul hingga
foto korban yang akan dijadikan target pembunuhan sampai ke tangan para
eksekutor. Bila semua itu dijelaskan Antasari dengan sebenarnya, maka
pertanyaan apakah ada rekayasa keterlibatan Antasari dalam kasus
pembunuhan Nasarudin Zulkarnaen, akan terjawab. Sehingga, baju korban
dan SMS yang dipersoalkan Antasari, tidak lagi menjadi sangat penting
dalam kasus tersebut. Sebab, tidak mungkin akibat SMS yang dikirim bisa
membuat korban meninggal dunia.
Kemudian,
berdasarkan hasil visum et repertum nomor 1030/SK.II/03/2-2009
disebutkan kematian korban (Nasurudin Zulkarnaen) akibat tembakan
senjata api yang masuk dari sisi kepala sebelah kiri dengan diameter
anak peluru Sembilan millimeter yang ditembakkan dari senjata api
caliber 0.38 tipe S&W. Penyidik dapat membuktikan dengan
ditemukannya senjata api dari para pelaku yang jenis senjata api sesuai
dengan hasil visum et repertum.
Sejatinya,
kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin
Zulkarnaen adalah perbuatan tindak pidana yang telah berkekuatan hukum
tetap. Hendaknya, siapapun wajib menjaga proses dan ruang lingkup
pemberian grasi, agar tidak diselewengkan untuk meruntuhkan kewibawaan
dan kekuasaan yudikatif. Sehingga tidak menjadi preseden buruk dalam
proses penegakan hukum di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar