Selasa, 07 November 2017

Hina Orang Bugis, JK: Mahathir Harus Minta Maaf




Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad meminta maaf atas hinaan terhadap suku Bugis yang dilontarkannya dalam pidato kontroversial pada 14 Oktober 2017 lalu.


Kalla mengatakan bahwa dirinya terkejut saat mengetahui pidato Mahathir yang memberiikan pernyataan menghina terhadap rival politiknya dengan menyatakan bahwa Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak adalah perompak karena berasal dari suku Bugis.

"Pertama sebagai orang Bugis saya protes dan terkejut. Maka, Mahathir harus minta maaf. Karena orang Bugis itu bukan hanya ada di Sulawesi Selatan, tapi di seluruh Indonesia, bahkan di Malaysia," kata Kalla, di Jakarta, Selasa (7/11/2017).

Kalla menambahkan, Mahathir harus meralat pernyataannya tersebut karena dianggap melukai suku Bugis, dan tidak seharusnya pernyataan tersebut dilontarkan dalam pidato Mahathir dalam orasi politiknya di Lapangan Harapan, Petaling Jaya, Kuala Lumpur, Sabtu malam (14/10/2017).

"Mahathir harus meralat, jangan dihubung-hubungkan (soal suku)," ujar Kalla, yang keturunan Bugis tersebut seperti yang dilansir dari Antara.

Dalam pidato politiknya beberapa waktu lalu menyebutkan secara gamblang bahwa etnis keturunan Bugis sebagai pencuri dan penyamun. Setelah muncul pernyataan tersebut, Mahathir mendapatkan berbagai reaksi dan kecaman terutama dari masyarakat keturunan Bugis.

Protes keras disampaikan oleh Persatuan Perpaduan Rumpun Bugis Melayu Malaysia (PPRBMM) di hadapan Yayasan Kepemimpinan Perdana pada 18 oktober 2017, akibat pernyataan Mahathir tersebut.

Mereka mendesak Mahathir memohon maaf dan menarik balik pernyataannya yang mengatakan Bugis sebagai lanun.

Senin, 06 November 2017

Polisi Nilai Tidak Perlu Membentuk TGPF Kasus Novel Baswedan



Jakarta – Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Rikwanto mengatakan saat ini kepolisian melakukan evaluasi dalam proses pengusutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Kepolisian tengah menelusuri berbagai alternatif dalam penyelesaian kasus tersebut.

“Ya kan segala sesuatunya itu pasti ada evaluasi. Apabila beberapa alternatif itu tidak bisa dibuktikan setelah diupayakan pembuktiannya tentu dicari alternatif lainnya,” kata Rikwanto di Mabes Polri, Jakarta, 3 November 2017.

Menurut Rikwanto, rencana pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) tak perlu dilakukan. Sebab, hal itu akan menimbulkan risiko adanya tren pembentukan TGPF lainnya, jika para korban tindak pidana merasa kasusnya diusut cukup lama oleh kepolisian.

“Jadi bukan hak spesial kasus Novel ini saja. Semua orang punya hak yang sama. Penyidik itu sungguh-sungguh dan bantulah memberikan informasi yang signifikan kalau perlu agar kasus ini cepat terungkap,” ujarnya.

Rikwanto berharap agar koalisi masyarakat sipil yang mewacanakan TGPF untuk aktif memberikan berbagai informasi baru kepada Polri agar semakin mempercepat penyelesaian kasus Novel.

“Jadi jangan punya informasi, punya bahan bagus untuk mengungkap tapi dipegang saja dengan alasan nanti TGPF saya buka. Itu namanya malah menghambat, malah lama,” ucapnya.

Rikwanto menegaskan kepolisian serius menangani kasus Novel. Namun, upaya pemeriksaan kepolisian terhadap puluhan saksi, ratusan CCTV dan para saksi ahli masih belum menemukan titik terang. Kepolisian juga telah melakukan berbagai investigasi dan olah tempat kejadian perkara berulang-ulang.

“Memang belum ketemu. Dan itu natural saja dalam proses penyelidikan. Makanya ke depan kita akan buka lagi ruang alternatif lain untuk membuka cakrawala baru di mana mulainya penyelidikan ini,” kata Rikwanto.

Penanganan kasus penyerangan Novel Baswedan sudah lebih dari 200 hari, tapi hingga kini, kepolisian belum menemui titik terang. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono mengatakan kepolisian kesulitan mengungkap pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan.

Ari Dono mengatakan kasus ini serupa dengan kasus dengan pola tabrak lari yang sulit untuk diungkap. Ari Dono bercerita, kasus tabrak lari ada yang empat tahun baru tertangkap pelakunya. “Puluhan saksi diminta keterangan tapi belum menunjukkan peristiwa itu terbuka,” kata Ari Dono.

Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017. Ia diserang menggunakan air keras oleh dua orang tak dikenal setelah melaksanakan salat subuh di Masjid Al-Ikhsan, dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.